Pemerintah Pusat di Jakarta, baik eksekutif, maupun
legislatif diminta untuk menghentikan pembahasan pemekaran daerah otonomi baru
(DOB), tetapi segera membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua, sesuai perintah Pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay
mengatakan, pada prinsipnya pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada
nilai-nilai dasar, yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika
dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, supremasi hukum, demokrasi,
pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
“Selain itu masyarakat Papua punya kesadaran baru untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
dasar, serta tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran
dan perlindungan HAM penduduk asli Papua, sebagaimana disebutkan pada bagian
dasar menimbang huruf I dan huruf j, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,” kata
Gobay melalui siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura.
Dia melanjutkan, sebagai tindak lanjut dari dasar menimbang
pembentukan UU Otsus tersebut dalam ketentuan turunannya ditegaskan kepada pemerintah,
pemerintah provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan,
melindungi, dan menghormati HAM di Papua. Untuk melaksanakannya Pemerintah
membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2),
UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua.
“Dalam rangka mewujudkan perintah ketentuan di atas
sepanjang UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua diberlakukan pada tahun 2001 –
2021 pemerintah baru mewujudkan pembentukan perwakilan Komnas HAM, sedangkan
pengadilan HAM dan KKR sampai saat ini belum dibangun di Provinsi Papua dan
Papua Barat,” kata Gobay.
Melalui pembentukan Komnas HAM di Provinsi Papua selama ini
merekomendasikan fakta pelanggaran HAM berat Wamena Berdarah (2003), Wasior
Berdarah (2001), dan Paniai Berdarah (2014), meski proses hukum pada pengadilan
HAM di Papua belum dapat dirasakan oleh para korban dan masyarakat Papua.
Menurut Gobay, tiap tahun masyarakat Papua merayakan
kemerdekaan pada 1 Desember. Mereka rentan dikriminalisasi dengan menggunakan
pasal makar, karena Papua belum ada KKR sebagaimana rekomendasi UU Otsus.
Meskipun tahun 2021 pemerintah mengubah UU Otsus Papua ke dalam UU Nomor 2
Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus
Bagi Papua, harus ada ada komitmen pemenuhan HAM bagi orang Papua.
Dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat,
memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP), baik dalam
bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum,
sebagaimana disebutkan pada bagian dasar menimbang huruf (a), UU Nomor 2 Tahun
2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi
Provinsi Papua.
“Atas dasar itu, di tahun pertama pemberlakuan UU Nomor 2
Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus
Bagi Provinsi Papua, Pemerintah seharusnya lebih fokus melaksanakan pembentukan
Pengadilan HAM dan KKR di Papua, sebab yang menjadi persoalan pokok di Tanah
Papua adalah pelanggaran HAM dan persoalan status politik Papua (laporan LIPI),
sesuai dengan perintah dasar menimbang huruf (a) dan perintah Pasal 45 ayat (1)
dan ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua,” katanya.
Dengan melihat fakta pembahasan kebijakan RUU DOB Papua—yang
adalah ketentuan baru dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang sedang digencarkan
oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat—secara langsung mempertanyakan komitmen
pemerintah pusat yang berfungsi sebagai pengawas dan pelaksana UU Nomor 2 Tahun
2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi
Provinsi Papua, dalam mengamalkan prinsip dalam rangka melindungi dan
menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar OAP,
baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi
kepastian hukum, sebagaimana disebutkan pada bagian dasar menimbang huruf (a),
UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otsus Papua, serta pembentukan pengadilan HAM dan pembentukan KKR di
Papua sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2021
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi
Papua.
Dia mengatakan, pemerintah pusat yang membahas kebijakan RUU
DOB Papua secara sepihak, dengan menghilangkan frasa “aspirasi masyarakat
Papua” dalam Pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua, telah membangkitkan
gelombang demonstrasi penolakan DOB di Tanah Papua.
Menurutnya, fakta-fakta di atas menunjukan bahwa kebijakan
pemekaran dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua antidemokrasi, dan melaluinya
telah melanggar hak hidup warga negara yang dijamin pada Pasal 9 ayat (1), UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Maka dari itu, pihaknya meminta Presiden Jokowi menegakkan,
memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Provinsi Papua sesuai perintah
Pasal 45 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor
21 Tahun 2001;
Menkopolhukam dan DPR RI juga diminta segera mengabaikan
kebijakan RUU DOB Papua dan segera bentuk pengadilan HAM dan KKR, sesuai
perintah Pasal 45 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001; Kapolri juga diminta segera memerintahkan
Kapolda Papua untuk menangkap dan memproses hukum pelaku pembunuhan di Yahukimo
dan Nabire.
Koordinator Papuan
Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi mengatakan, apatisme
Indonesia terhadap persoalan HAM ekosob, lingkungan, pendidikan dan kesehatan
di Papua, membuat masyarakat internasional makin curiga terhadap pemerintah
Indonesia atas keterpurukan situasi HAM di Tanah Papua.
Syufi melanjutkan, badan PBB yang diwakili Komisi HAM meminta pemerintah Indonesia untuk menegakkan HAM bagi rakyat Papua. Namun hal
itu tidak pernah direspons baik oleh pemerintah Indonesia.
Dia juga meminta Pemerintah Indonesia menyeriusi desakan
Dewan HAM PBB melalui Special Procedures Mandate Holders (SPMH). Syufi
mengatakan, Indonesia juga harus belajar dari sejarah Timor Timur (Timor
Leste). Menurutnya, Timor Leste merdeka karena Jakarta banyak menyederhanakan
masalah HAM di dalam negeri.