Jumat, 20 Mei 2022

YAPKEMA Kembali Hadirkan Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Papua pada 10 Mei 2022

 

Sekolah Lapangan Budaya kembali diselenggarakan Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) hingga 2 Juni 2022 dengan maksud pelatihan intensif Sekolah Kopi Papua. Sejumlah 11 pemuda dan pemudi dari Kabupaten Dogiyai, Paniai, dan Deiyai mengikuti pelatihan Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Konservasi yang berlangsung di Kampung Idakotu, Moanemani, ibu kota Kabupaten Dogiyai, Papua. Pelatihan intensif budidaya kopi arabika yang dimulai pada 3 Mei 2022 itu akan berlangsung selama satu bulan.

Untuk pembukaan dan peresmian, akan dilakukan penyelenggara pada 10 Mei 2022 di lokasi kegiatan. Diketahui, sejak pecan lalu para peserta telah mengikuti sejumlah materi pelatihan di Kampung Idakotu.

“Kami menamakan pelatihan ini Sekolab Kopi Papua, yang merupakan singkatan dari Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Konservasi,” kata Ketua Divisi Pemberdayaan Ekonomi YAPKEMA, Herman Degei selaku Manajer Program Sekolab Kopi Papua, saat ditemui di lokasi pelatihan, Rabu (4/5/2022).

Sekolab Kopi Papua itu diselenggarakan dengan pola asrama di Unit Pengolahan Hasil (UPH) Enauto Coffee, unit usaha rekanan YAPKEMA, selama 1 bulan penuh. Sekolab di areal seluas 50 x 200 M ini, menurut Degei, memprioritaskan sistem pengajarannya pada praktek di kebun.

“Kami menyebutnya sekolah lapangan karena 80 persen aktivitas peserta sekolah akan ada di kebun kopi. Sedangkan 20 persen lainnya berada di kelas untuk mengikuti materi pengantar dan motivasi bagi pengembangan karakter para pemuda pemudi peserta sekolah,” ujar Degei.

Selama 1 bulan, para peserta pelatihan akan menerima materi tentang pembangunan karakter, tentang sejarah dan budidaya kopi arabika, serta pemenuhan kebutuhan sendiri dan pasar (Owabee dan Edepedee). “Sekolab Kopi Papua adalah salah satu upaya YAPKEMA agar generasi muda Papua cakap mengelola potensi tanah adatnya, serta menciptakan kemandirian ekonomi pada masa yang akan datang,” kata Degei.

Degei menyebut program Sekolab Kopi Papua itu mengambil semangat dari model Sekolah Penyuluh Lapangan (SPL) pada era 70-an di Moanemani. “[Itu] didukung oleh potensi budidaya kopi arabika di tiga kabupaten Meeuwo yang pernah terkenal namun kini belum maksimal pengelolaannya,” ujar Degei.

Degei juga menjelaskan bahwa kata ‘konservasi’ pada Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Konservasi menjadi penegas bahwa budidaya kopi yang diajarkan di Sekolab adalah perkebunan kopi organik dengan model agroforestri.

Pertama di Meepago

Pengajar Sekolab Kopi Papua, Marco Okto Pekei merasa senang menjadi pengajar dalam pelatihan itu. “Saya sangat mengapresiasi panitia yang sudah memikirkan apa yang menjadi potensi daerah orang Mee [atau Meeuwo], yang salah satunya itu memang kopi. Beberapa tahun silam kopi ini terangkat, tapi kemudian kurang diperhatikan,” kata Pekei.

Pekei yang juga Ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) VII Meepago dan Ketua Yayasan Touye Papa di Kabupaten Deiyai mengatakan pelatihan budidaya kopi seperti itu baru pertama kali diselenggarakan setelah era kejayaan kopi Meeuwo beberapa puluh tahun yang lalu. Ia berharap pelatihan itu akan membuat masyarakat kembali membudidayakan kopi.

“Harapan saya, selain Sekolab Kopi itu sangat kontekstual di masyarakat Mee yang sebagian besarnya petani, [pelatihan itu juga] mengingatkan mereka akan potensi lokasi dan lahan mereka, sehingga akan membuat masyarakat berpikir, baik yang belum mengelola maupun yang sudah mengelola lahannya,” kata Pekei.

Pekei juga berharap bagi masyarakat yang sudah menanam kopi akan dapat mengembangkannya melalui informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari para peserta. Pekei juga berharap para peserta pelatihan akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, sehingga bisa memacu potensi diri yang mereka miliki.

Perubahan karakter

Topilus Bastian Tebai, salah seorang pengajar di Sekolab Kopi, saat ditemui di sela-sela jadwal kelasnya pada Jumat, 6 Mei 2022, mengatakan awalnya ia mengira pelatihan itu tidak akan diminati. “Saya pikir ini nanti pesertanya sedikit, karena selain baru pertama, juga kegiatan seperti ini nanti kurang diminati oleh anak-anak muda yang sepertinya kurang tertarik untuk jadi petani kopi. Tapi kenyataannya 11 orang peserta, itu baik untuk program pertama, apalagi tinggal bersama selama 1 bulan penuh,” ujar Tebai.

Tebai yang juga seorang penulis, Sekretaris BPD KAPP Kabupate Dogiyai dan Koordinator Relawan Perpustakaan Rakyat Dogiyai KAMAPI TOPII itu berharap Sekolab Kopi bisa diselenggarakan rutin setiap tahun. “Saya yakin, peserta angkatan pertama itu akan menceritakan pengalaman mereka selama mengikuti sekolah, dan menjadi contoh di kampungnya. [Itu akan] menarik lebih banyak pemuda pemudi lainnya untuk mengikuti Sekolab Kopi selanjutnya,” kata Tebai.

Menurut Tebai, seharusnya kegiatan seperti Sekolab Kopi Papua diselenggarakan oleh pemerintah daerah. “Tetapi, kenyataannya pemerintah lebih memperhatikan hal-hal lain seperti bangunan fisik dan seterusnya, tidak mementingkan misi pendidikan seperti yang dibuat YAPKEMA,” ujarnya.

Tebai secara khusus mengapresiasi model asrama Sekolab Kopi yang menempatkan peserta sejajar dengan panitia/penyelenggara. Model itu menempatkan peran peserta, panitia, maupun penyelenggara untuk bersama-sama memelihara kebersihan dan memasak.

“Itu bukan hanya pendidikan karakter secara materi, tetapi langsung praktek. Yang paling berkesan justru [semua yang terlibat dalam pelatihan] tinggal bersama-sama dan bekerja bersama, seperti pembagian jadwal piket, mencuci piring masing-masing setelah makan, memasak, tanpa membedakan tugas laki-laki maupun perempuan,” ujar Tebai.

Tebai yakin Sekolab Kopi tidak hanya menularkan pengetahuan tentang budidaya kopi, namun juga menyumbang perubahan kepada karakter individu peserta. “Karena [pelatihan itu berlangsung] sebulan penuh. Dalam budaya kami, apalagi laki-laki, jarang terlibat dalam kerja-kerja di rumah tangga. Saya yakin dari kesan saat duduk bicara dengan para peserta, mereka menganggap itu berbeda dan menyambutnya baik,” kata Tebai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar