Sekolah Lapangan Budaya kembali diselenggarakan Yayasan
Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) hingga 2 Juni 2022 dengan maksud
pelatihan intensif Sekolah Kopi Papua. Sejumlah 11 pemuda dan pemudi dari
Kabupaten Dogiyai, Paniai, dan Deiyai mengikuti pelatihan Sekolah Lapangan
Budidaya Kopi Konservasi yang berlangsung di Kampung Idakotu, Moanemani, ibu
kota Kabupaten Dogiyai, Papua. Pelatihan intensif budidaya kopi arabika yang
dimulai pada 3 Mei 2022 itu akan berlangsung selama satu bulan.
Untuk pembukaan dan peresmian, akan dilakukan penyelenggara
pada 10 Mei 2022 di lokasi kegiatan. Diketahui, sejak pecan lalu para peserta
telah mengikuti sejumlah materi pelatihan di Kampung Idakotu.
“Kami menamakan pelatihan ini Sekolab Kopi Papua, yang
merupakan singkatan dari Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Konservasi,” kata Ketua
Divisi Pemberdayaan Ekonomi YAPKEMA, Herman Degei selaku Manajer Program
Sekolab Kopi Papua, saat ditemui di lokasi pelatihan, Rabu (4/5/2022).
Sekolab Kopi Papua itu diselenggarakan dengan pola asrama di
Unit Pengolahan Hasil (UPH) Enauto Coffee, unit usaha rekanan YAPKEMA, selama 1
bulan penuh. Sekolab di areal seluas 50 x 200 M ini, menurut Degei, memprioritaskan
sistem pengajarannya pada praktek di kebun.
“Kami menyebutnya sekolah lapangan karena 80 persen
aktivitas peserta sekolah akan ada di kebun kopi. Sedangkan 20 persen lainnya
berada di kelas untuk mengikuti materi pengantar dan motivasi bagi pengembangan
karakter para pemuda pemudi peserta sekolah,” ujar Degei.
Selama 1 bulan, para peserta pelatihan akan menerima materi
tentang pembangunan karakter, tentang sejarah dan budidaya kopi arabika, serta
pemenuhan kebutuhan sendiri dan pasar (Owabee dan Edepedee). “Sekolab Kopi
Papua adalah salah satu upaya YAPKEMA agar generasi muda Papua cakap mengelola
potensi tanah adatnya, serta menciptakan kemandirian ekonomi pada masa yang
akan datang,” kata Degei.
Degei menyebut program Sekolab Kopi Papua itu mengambil
semangat dari model Sekolah Penyuluh Lapangan (SPL) pada era 70-an di
Moanemani. “[Itu] didukung oleh potensi budidaya kopi arabika di tiga kabupaten
Meeuwo yang pernah terkenal namun kini belum maksimal pengelolaannya,” ujar
Degei.
Degei juga menjelaskan bahwa kata ‘konservasi’ pada Sekolah
Lapangan Budidaya Kopi Konservasi menjadi penegas bahwa budidaya kopi yang
diajarkan di Sekolab adalah perkebunan kopi organik dengan model agroforestri.
Pertama di Meepago
Pengajar Sekolab Kopi Papua, Marco Okto Pekei merasa senang
menjadi pengajar dalam pelatihan itu. “Saya sangat mengapresiasi panitia yang
sudah memikirkan apa yang menjadi potensi daerah orang Mee [atau Meeuwo], yang
salah satunya itu memang kopi. Beberapa tahun silam kopi ini terangkat, tapi kemudian
kurang diperhatikan,” kata Pekei.
Pekei yang juga Ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) VII Meepago
dan Ketua Yayasan Touye Papa di Kabupaten Deiyai mengatakan pelatihan budidaya
kopi seperti itu baru pertama kali diselenggarakan setelah era kejayaan kopi
Meeuwo beberapa puluh tahun yang lalu. Ia berharap pelatihan itu akan membuat
masyarakat kembali membudidayakan kopi.
“Harapan saya, selain Sekolab Kopi itu sangat kontekstual di
masyarakat Mee yang sebagian besarnya petani, [pelatihan itu juga] mengingatkan
mereka akan potensi lokasi dan lahan mereka, sehingga akan membuat masyarakat
berpikir, baik yang belum mengelola maupun yang sudah mengelola lahannya,” kata
Pekei.
Pekei juga berharap bagi masyarakat yang sudah menanam kopi
akan dapat mengembangkannya melalui informasi dan pengetahuan yang diperoleh
dari para peserta. Pekei juga berharap para peserta pelatihan akan mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan baru, sehingga bisa memacu potensi diri yang
mereka miliki.
Perubahan karakter
Topilus Bastian Tebai, salah seorang pengajar di Sekolab
Kopi, saat ditemui di sela-sela jadwal kelasnya pada Jumat, 6 Mei 2022,
mengatakan awalnya ia mengira pelatihan itu tidak akan diminati. “Saya pikir
ini nanti pesertanya sedikit, karena selain baru pertama, juga kegiatan seperti
ini nanti kurang diminati oleh anak-anak muda yang sepertinya kurang tertarik
untuk jadi petani kopi. Tapi kenyataannya 11 orang peserta, itu baik untuk
program pertama, apalagi tinggal bersama selama 1 bulan penuh,” ujar Tebai.
Tebai yang juga seorang penulis, Sekretaris BPD KAPP
Kabupate Dogiyai dan Koordinator Relawan Perpustakaan Rakyat Dogiyai KAMAPI
TOPII itu berharap Sekolab Kopi bisa diselenggarakan rutin setiap tahun. “Saya
yakin, peserta angkatan pertama itu akan menceritakan pengalaman mereka selama
mengikuti sekolah, dan menjadi contoh di kampungnya. [Itu akan] menarik lebih
banyak pemuda pemudi lainnya untuk mengikuti Sekolab Kopi selanjutnya,” kata
Tebai.
Menurut Tebai, seharusnya kegiatan seperti Sekolab Kopi
Papua diselenggarakan oleh pemerintah daerah. “Tetapi, kenyataannya pemerintah
lebih memperhatikan hal-hal lain seperti bangunan fisik dan seterusnya, tidak
mementingkan misi pendidikan seperti yang dibuat YAPKEMA,” ujarnya.
Tebai secara khusus mengapresiasi model asrama Sekolab Kopi
yang menempatkan peserta sejajar dengan panitia/penyelenggara. Model itu
menempatkan peran peserta, panitia, maupun penyelenggara untuk bersama-sama
memelihara kebersihan dan memasak.
“Itu bukan hanya pendidikan karakter secara materi, tetapi
langsung praktek. Yang paling berkesan justru [semua yang terlibat dalam
pelatihan] tinggal bersama-sama dan bekerja bersama, seperti pembagian jadwal
piket, mencuci piring masing-masing setelah makan, memasak, tanpa membedakan
tugas laki-laki maupun perempuan,” ujar Tebai.
Tebai yakin Sekolab Kopi tidak hanya menularkan pengetahuan
tentang budidaya kopi, namun juga menyumbang perubahan kepada karakter individu
peserta. “Karena [pelatihan itu berlangsung] sebulan penuh. Dalam budaya kami,
apalagi laki-laki, jarang terlibat dalam kerja-kerja di rumah tangga. Saya
yakin dari kesan saat duduk bicara dengan para peserta, mereka menganggap itu
berbeda dan menyambutnya baik,” kata Tebai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar